×
JIKA LINK (Download) & GAMBAR HILANG
Silahkan matikan Adblock Anda, atau Silahkan gunakan Google Chrome Browser!

PERI UTARA DIBADAN CERITA.



Jujur, hingga kini tak kutahu apakah kata sederhanaku selama ini telah mengenai hatimu? Apakah caraku selama ini telah benar perlakukan hadirmu? Apakah kau tahu peri itu adalah kamu!? Entahlah....

Ketika setiap sepasang mata yang lemah ini menatap parasmu yang selalu diam kaku namun penuh keindahan serta kepolosan sebuah kecantikan warisan sang hawa. Senyuman yang manis itu. Tatapan mata yang cemerlang itu. Mahkota yang jatuh terurai indah itu. Dari segenap baikmu itu. Apakah engkau tahu, periku? Aku seakan selalu dibawanya tuk ditempatkan disuatu masa. Namun bukan masa lalu. Bukan masa kini. Atau bukan pula masa depan itu sekalipun.

Namun masa itu tampak begitu asing bagiku. Dimana rasa manisnya begitu nyata terasa melebihi semua manis sebuah masa lalu. Dimana semu gambaran adanya nampak berbayang terlukis mengalahkan abstraknya sebuah masa depan. Dan rumitnya segala kepastiaan kebenaran hadirnya ada bercokol lebih lama ketimbang rumitnya cerita hari masa kini. Dan masa itu adalah sebuah masa indah pahatan tangan-tangan sang angan. Yang berangkat dari satu inspirasi tentang hasrat hati yang selalu inginkan kehadiranmu tuk bisa berada selalu disisiku. Yang terlahir dari segenap sel-sel perasaan hati yang tiba berpadu menjadi sebuah darah bagi sebuah hasrat hidup ini.

Laksana malam. Teruntuk ia sang bumi tercinta. Sinar sang bintang dan rembulan kan selalu berpijar tulus meski dari kejauhan. Meski tak urung sang awan menyekatinya. Dan meskipun terlalu ngilu tuk dirasai ketika adanya mesti kalah dari sang lelap tidur, namun sebesar rasa ketulusan yang dimilikinya tersebut, meski disepanjang cerita ia akan terasa atau terlihat tampak hanya bisa terdiam membisu acuh tak acuh, namun ia akan selalu benar ada untuk menjaga sesosok bumi yang tercintainya tersebut. Dan seperti itu jua lah hati ini coba berusaha menetetapkan maknanya untukmu, periku!

Kini kumohonkan padamu. Mengertilah apa yang telah ataupun akan kulakuan kelak nanti didalam dunia ini! Semua yang tercipta dariku yang ada disini, itu semata-mata dari, untuk, dan karnamu! Dan bila kini kau tiba tersadar akan hal ini, katakanlah padaku bahwa kau telah terbangun! Namun bukan dihadapan mereka, dia, ataupun pertemuan kita sendiri! Namun katakanlah ketika dirimu berada diantara pertemuan hati kita dan pada ia sang malam! Karna yang yang tengah berdiri disini bukanlah jiwa siang, jiwa malam, ataupun jiwa penuhku. Namun satu keutuhan hatiku lah yang tengah berbicara padamu! Dan ia sang malam lah bundaku yang telah mengasuhku dan mendidik cara pikir hatiku tentang segala hal mengenai sesosok bagaimana sang bunda rasa itu.

11 Nopember 2009

Dalam cengkraman jemari malam tua,

Mudanya malam telah melumpuhkanku dengan kuasa pintanya memerintah sang lelap tidur tuk masuk mencumbui segenap dunia bawah sadarku. Tiada warna, hanya gulita, begitulah ia dengan serta-mertanya mengisi alam pandangan tidurku tersebut.

Namun kini aku telah kembali sempurna menjadi manusia sadar dengan seutuhnya. Masih sang gulita yang kudapati disini. Masih sang kesunyian yang benar mengisi pendengaranku. Masih sang kesendirian yang setia mencekik keadaanku. Dan masih tetap segala sesuatu tentangmu yang selama ini tengah kumiliki lah yang mendominasi segenap ruang pikir hati serta kepala ini. Engkau Peri Utaraku.

Dalam prosesi kelahiran sang cinta. Terlalu prematur kah bila kini rasa manis ini kutempatkan sederajat dengan kata sebuah cinta? Teramat masih muda kah bila rasa manis ini kubebani dengan sebuah makna ketulusan? Jawablah, malam! Jawablah dengan lantangmu itu! Sebagaimana kau bertanya padaku tentang satu tanyamu, tentang kesendirianku, yang selalu kau berikan padaku dengan suara gagahmu ditiap-tiap sela lamunan dan renunganku. Jawablah padaku agar ia Periku tahu! Katakanlah pada kami!

Dan padamu engkau periku disana, dengarlah ucap pena tak bertintaku ini! Jangan hiraukan nama arah yang telah kusanding di belakang namamu! Apakah seseorang akan tampak waras atau setidaknya tahu apa nama arah yang sedang ada dihadapannya ketika sebuah rasa manis yang oleh mereka para pecinta cinta itu biasa terkatakan “cinta” tiba saja tandang menetap hinggapi hatinya? Itulah yang terjadi padaku kemarin, kini, ataupun tuk diwaktu terdepan nanti. Aku teramat buta tuk ketahui satu kebenaran tentang dimana kau berdiri ataupun berdiriku sendiri ini. Aku buta karna yang sesungguhnya telah membutakanku adalah dirimu. Parasmu berdiri dan berbayang lalu menyekati selalu dihadapan tatapan nyata duniaku. Dan aku tak punya suara tuk tanyakan kepada mereka kebenaran dimana dirimu. Aku bisu karna sesungguhnya jauh dikelahiranku, mulutku telah dulu terkunci masa lalu tuk berkata bila menyangkut segala hal tentang yang mengenai hati dan rasa-rasanya sekaligus.

Dan kini, cepat bangunkanlah sadarmu itu, periku! Mantapkanlah hatimu itu! Bahwasanya kau lah yang selama ini dibicarakan kata-kata hatiku. Bukan mereka para kekasih tertinggal masa kiniku. Bukan ia sang penghias masa laluku. Ataupun bukan pula dia yang kini mungkin tengah berdiri didalam terka pikir kepalamu. Sejatinya, kaulah periku peri utara itu. Kau yang terdepan di jantung hati jiwaku ini dalam dunia disini.

13 Nopember 2009

Dalam kedamaian peluk pejaman malam,

Aku ingin tahu engkau Peri Utaraku tahu. Aku kembali terbangun dari mati suriku adalah karnamu. Semua kata yang sempat ataupun tengah tercipta ini adalah karnamu. Semangat hidup jiwa penuhku kembali naik pun itu karnamu. Hati yang sempat serasa lesap entah kemana ini pun teryakinkan kembali ke pangkuan awalnya, dan itupun sepenuhnya karna ulah manismu. Dan bila kini kau pergi dariku, maka satu sisi jiwaku ini pun kan tiba saatnya kembali mati suri di bawah tanah pijakan jiwa siang. Dan itu semua semata-mata karna hakekatnya maknamu bagiku adalah kau tak ubahnya laksana sang udara bagiku. Kau adalah sebentuk hal terpenting yang telah membangunkanku, dan kau pula lah yang dapat memati-surikanku. Kau adalah sebidang tanah bumi bagiku. Dari kesedianmu yang telah kau beri padaku, kau membuat jiwaku begitu yakin tuk berdiri disini. Namun bila satu hal hitam yang tengah kutakuti kini mesti terjadi disana kelak, maka dari abaian bermaknakan usiran darimu untukku, kau juga lah yang kan menjadi tanah makam bagi seluruh hal tentang satu sisi jiwa ini.

Dan ketika aku harus lalui latar hariku seperti saat-saat selayaknya kali ini. Terutama ketika tiap kali kupandangi wajah serta senyummu yang ayu itu berdiri di hadapanku dalam dunia kaca berkamar berbatas namun kaya bercahaya. Disini. Di tengah-tengah kedamain sang malam. Di dalam kesunyian sang gulita. Di timbunan dinginnya sang kesendirian. Di sudut ramainya kerlingan sang bintang-gemintang. Di naungan teduhnya sebentuk senyuman berdiri sang rembulan. Yang benar kurasai kuat di prasaku ini. Hanya ada rasa ngilu yang mengitari rasa manis ini. Hanya ada bayang kehadirannya ia sebelumku yang selalu tak henti memecuti segenap penghuni kepala dan hati ini tuk berpikir ulang jauh kedalam diri sendiri siapa yang tengah dengan beraninya tanamkan benih rasa manis ini padamu. Hingga besarnya rindu yang ada selalu saja tertawan semunya sang keraguan. Hingga jiwa ini tak lagi mengerti, pikir ini harus bagaimana lagi tuk hadapi hati yang selalu tak henti meronta meratap mengadu selayaknya saat ini.

Rasa manis disini akan selalu terima apa adanya engkau yang terkagumi hati. Seberapa pun benarnya kerendahan ataupun ketinggian makna adamu dihadapan mereka. Namun kini apakah hati ini harus tetap menerimamu apa adanya? Ketika ku teramat tahu di hidupmu ada ia kekasihmu dan ia sebelumku? Ketika kutahu mereka teramat lebih ketimbang aku?

Tidak, Periku! Takkan pernah terjadi cerita itu padaku! Takkan pernah makna rasa manis disini kubiar liar merusak makna rasa manisnya disana. Karna sesungguhnya itulah aku apa adanya. Aku laksana pecinta lukisan yang tiba waktunya dapati sebuah lukisan terpatri di dinding didalam sebuah rumah orang asing. Ia sebelumku adalah seseorang yang telah mengajakku masuk ke rumah itu. Dan kekasihmu itu adalah orang asing si tuan pemilik rumah tersebut. Tak akan ada satu hal pun yang akan kulakukan diwaktu itu tuk coba meluapkan semua rasa kecintaan, kekaguman, dan kesukaanku terhadap lukisan tersebut selain hanya terdiam memandanginya. Menggumamkan kata-kata kekaguman hanya terucap sebatas dalam hati. Semua itu kulakukan untuk menghormati ia si tuan rumah. Dan untuk menghargai ia pengajakku. Terutama teruntuk ia sang lukisan yang kusenangi.

14 Nopember 2009

Dibawah lembayung senja,

Dalam perjalanan langkah-langkah hati ini. Dalam jalan cerita mengenalimu satu peri yang telah membangunkan satu sisi lain jiwa ini. Melayar dalam cerita ini terasa begitu berat terasakan olehku. Dimana awan kebimbangan selalu memberkati hari-hariku. Badai-badai kerinduan tak urung tuk hadir menerpa layar setia penantianku secara bergantian.

Mereka yang tak kenali sisi lainku seakan hadir bagai sayap-sayap penghuni dunia atas laut itu. Yang selalu begitu senangnya bersenandung lirik bekelakarnya di belakangku. Namun biarkanlah mereka tetap tersenyum serta berkicau seperti itu, Periku. Karna darinya bahtera kasih ini dapat tetap melaju pacu di awal tuju arahnya.

Ombak-ombak keraguan tak henti beriak membayangiku disetiap jalan pengarungan. Dan masa lalu itu...bagai karang-karang dibelakang itu. Ia akan tetap keras membatu keras disitu. Ia tak mungkin hampiriku. Ia akan tetap menjadi latar penghias pandangan dunia belakangku. Maka dari itu, tenang lah engkau periku bagai telaga tujuh warna disana itu. Pepohonan setiaku kan mengitari hidupmu. Nuansa keasrian alam sang rasa manis ini kan kuusahakan nyamankan jiwa serta hatimu bila saatnya nanti benar engkau tulus berada disisi jiwaku.

Dan di dirimu kini adakah sedikit tentang aku yang tengah memikirkanmu tuk terpikirkan oleh hatimu?

16 November 2009

Diantara teduhnya muda hari,

Tandang hadir sang fajar tak jua terlihat pandangan kali ini. Sekalinya ia berganti sang mentari, ia pun berdiri bagai sang fajar di atas sekawanan air mata rerumputan yang tengah berkelingan manja. Keteduhan cakrawala pandangan ini hampir saja membuat langit kota ini menangis. Namun entahlah kenapa sejauh ini ia masih manis bertahan dalam kemendungannya tersebut.

Yang kurasai kini di bantaran hati ini. Terasa seakan ada sebuah rasa yang amat asing tengah mengeruhkan kerjernihan dunia palung hati ini. Semakin kutatap dunia itu, semakin hilang pula lah kejernihan pikir hatiku itu dari setiap sudut ruang pandangan ini. Alhasil, keruh sudahlah seluruh samudra hatiku itu. Dan termenunglah aku tuk sejenak diam terbisu dalam keadaan memeluk kedua lututku sendiri. Menunggu hingga sesuatu pengeruh itu muncul dari dalam sana. Atau setidaknya hingga telaga itu kembali jernih.

Tahukah engkau Periku, sesuatu pengeruh dunia palung hatiku itu apa? Benar...rasa gundah lah yang telah merusak kejernihan palung hatiku itu. Ia muncul kepermukaan bagai seekor hewan melata yang bersisik. Ia menghampiriku dengan tarian tubuhnya yang anggun. Dan mematikanku dengan desis ucapannya yang berbisa.

Dan tahukah engkau periku, apa yang telah diutarakannya padaku? Dengan suara desisnya yang begitu amat gila tuk didalami sang pendengaran, ia berkata, “perhatikan aku! Perhatikan kehadiranku! Perhatikan kenapa aku bisa terlahir disini!” Bersama itu aku tersadar. Bersama itu sang gundah itu semakin tumbuh membesar dan serasa memenuhi seluruh ruang hatiku. Dan bersama itu pula lah satu hal yang pernah kulakukan kemarin kembali terlintas didepan mataku. Dan sesungguhnya dari sanalah awal mula kenapa sang gundah bisa sempat menguasaiku.

Hari kemarin aku sempat memerintahkan satu buah karya tulisku tuk datang kepadamu. Dan kupastikan lewat jalan modern yang telah kusarankan padanya tuk ditempuhnya, ia pun telah langsung sampai ke alamatmu didunia maya itu. Dan gundah ini ada tuk sebentuk kabar darimu. Sebuah kabar yang kan mengauliakan kata sukamu ataukah kata tidak sukamu terhadap apa yang telah kau dapati tentangnya.

Dan jangan tanyakan seberapa banyakkah gundah ini telah beranak-binak dalam diri ini. Karna yang terasai kini disini, kehadirannya telah menjadi seperti sang awan yang tengah berdiri dibawah matahari hari ini. Yang berdiri diatas dudukku kini. Dimana kini sang awan tengah deras beranak-binak. Anak-anaknya berjatuhan dengan sedemikian gencarnya. Dan hidupnya ada tuk melekati, membasahi, serta sekaligus membuat dunia permukaan bumi ini mengigil kedinginan.

Hanya kabar darimu lah yang dapat menghangatinya. Tak perduli kabar itu manis ataupun pahit. Tak perduli kan indah ataukah buruk sekalipun.

17 Nopember 2009

Ditengah geleparan angin malam,

Pusing. Mungkin satu kata itulah yang kini benar-benar sedang kurasai disini. Sementara hasrat hati yang ada karna satu peri sepertinya ini tak jua kumengerti maksud tujunya. Diantara kedamaian dan kesunyian malam ini. Angin malam ini seperti tengah membawaku ke suatu masa yang lalu. Dimana gelaparan angin malam seperti inilah yang sempat menjadi juru kelahiran satu sisi lain jiwa ini. Dimana dinginnya pasca hujan di malam ini seperti ini yang sempat menyelimuti tubuh muda jiwa malam ini. Dan benar, situasi yang mengilukan hati inilah yang telah membesarkan jiwa malam ini.

Hari-hari belakangan ini. Yang ada dalam pikir kepala ataupun pikir hati ini hanyalah dia peri utaraku seorang. Yang kutunggu darinya selama ini bukan membuat damai jiwaku dengan sepenuhnya. Namun melainkan kini darinya kudapati kecemasan yang kian semakin tumbuh membubung tinggi.

Dari katanya yang kini tengah ia simpan di halaman-halaman mukanya itu. Seakan dirinya tengah menegaskan padaku ataupun kepada yang lainya bahwa dirinya pun sedang digauli sang cemas dan kebingungan. Namun entahlah...tentang kebenaran satu hal itu, hanyalah dirinya seorang yang mengetahuinya.

Entah dengan cara apakah itu, agar aku bisa mengatakan padanya tentang satu rasa manis ini. Tanpa harus ada satu pihak pun dari mereka yang kan terusik oleh caraku tersebut. Terutama bagi ia kekasihnya, sepertimana yang telah ia umbarkan kepada hal layak orang banyak lewat keadaan pribadinya dalam salah satu kaca di halaman-halaman mukanya. Dan juga baginya ia sebelumku yang kini terlalu misteri bagiku tuk tahu perasaan hatinya kepadanya ia peri utaraku.

Rasa manis disini adalah cinta. Dan cinta itu keindahan. Dan cinta itu ketulusan. Dan cinta itu kesucian. Dan cinta itu cakup segenap kebaikan. Dan bila kini satu jalan pengungkapan rasa manis yang kelak kuambil kini ataupun nanti itu nyatanya tak berunsurkan sebuah kebaikan. Apakah rasa manis ini masih akan tetap dikatakan cinta? Apakah ia akan tulus bahagia menerima dan menyimpan rasa itu jauh didalam palung hatinya? Sementara bukankah kita sama-sama mengetahui bahwa “bahagia” itu adalah tempat langka tujuan utama sang cinta? Dan bukankah kita pun sama-sama tahu bahwa sesungguhnya “tulus” itu adalah jalan berbatu dan berlumpur atau sering pula dijumpai berduri baginya tuk mencapai tempat langka yang terpencil itu?

18 November 2009

Dipenguasaan sang matahari,

Akankah ia periku merasakan apa yang jiwa ini kini rasakan? Memandang apa yang kini terpandang. Mendengar apa yang kini terdengar. Menghirup apa yang kini terhirup. Memimpikan apa yang kini termimpikan.

Matahari memaksaku tuk terus kecupi rasa sinarnya yang penuh keresahan. Biasan terangnya membuat sepasang mata ini harus memandang kehampaan. Kebisuannya membiarkan segenap pendengaranku terlempar jauh kedalam kubangan sunyi. Warna cahaya tawarnya menawari napasku tuk menghirup kerinduan kepada ia periku yang sedang disuguhinya kini. Kuasanya terhadap dewasanya hari ini telah melahirkan sebuah mimpi yang tinggi tuk ditempatkannya didalam benak kepala serta ruang hasrat hatiku. Satu mimpi tentang suatu masa yang berisikan sebuah kilasan bayang-bayang dimana tiba waktunya ia sang periku bisa sudi hadir disisiku.

Andai ia tahu...disetiap hari-hariku setelah aku mengenalnya. Seperti inilah yang selalu kulakukan tuk menjaga rasa manis ini yang tercipta karna kehadirannya tersebut. Takkan terhentikan suatu apa pun jua itu ketika tangan ini telah tiba temui waktunya tuk terus melukisnya lewat kata-kataku diatas kertas dalam layar berkaca kaya bercahaya dan dengan sebuah pena tak bertinta dan dengan segenap perasaan manis ini sepenuhnya. Dan tampilan diam wajahnya yang mematung namun bergurat kemayu itu, serta sepasang bibir indahnya yang membisu namun kaya senyuman itu, tetap setia dihadapanku. Dan senandung para musisi ini mengalun begitu cantik bila sekedar tuk mengauliakan prasaan hati dan tuk selalu menyertai tarian tangan ini.

Andai ia tahu rasa manis ini...kenapa kini tak ia tanyakan langsung padaku bila ia memang ragu peri itu dirinya? Atau setidaknya lewat kata basa-basinya yang selama ini ia miliki! Bukankah kita itu manusia yang sama?

21 Nopemper 2009

Dirindu yang terbelenggu tangisan senja,

Aku lelah...begitulah bila kini pikirku harus berkata sebagai seorang perindu. Aku bosan...begitulah bila kini pikirku harus berkata sebagai seorang pelaku cerita cinta. Aku takut kehilanganmu...begitulah bila kini pikirku harus berkata sebagai seorang pengecut. Terserah bagaimana nanti...begitulah bila aku harus berakata sebagai seorang jiwa siang. Aku akan tetap bertahan...begitulah bila aku harus berakata sebagai seorang jiwa penuh. Terserah padanya bagaimana nanti...dan aku akan tetap bertahan disini...karna aku benar mencintainya...dan begitulah bila kini aku harus berakata sebagai jiwa malam.

Lelah, bosan, takut kehilangan...itulah yang selalu kudapati dari para mereka yang tak mengenali jiwaku dalam keadaan utuh. Mereka yang hanya kenali jiwa siangku hanya mampu membuat diri ini terbenam jauh dalam kesedihan. Telah kubuat mereka merasa selayaknya seperti seorang yang penuh kemuliaan dan kesejahteraan. Mengangkatnya dari dasar lumpur keterpurukannya. Dan berjayalah para mereka itu kini.

Namun tahukah disetelahnya, periku? Dengan segenap kenyamanan berlaku serta kepercayaan dirinya yang kini telah tumbuh merindang. Mereka itu...mereka...mereka itu dengan bangganya menyakitiku. Tanpa sepengetahuannya, mereka selalu saja membangkitkan jiwa malam ini atas rasa rendahnya diri ini. Sedangkan seingat sang ulang pikir, hal itu tak pernah kulakukan padanya. Bila harus ego ini kuijinkan tuk berkata padanya, mungkin ia akan mencibir tentangnya; “manusia tak tahu diri! Di mana ia telah simpan masa kemarin itu dalam otaknya?! Apakah dibawah telapak kakinya?!” Namun beruntunglah mereka itu hingga sampai saat ini, karna hal itu tak akan terjadi padanya.

Namun diam dan bertanyalah mereka tersebut pada dirinya sendiri, hati, ataupun masa kemarinnya sekalian disuatu waktu disana. Ketika mereka mulai tersadar ada yang ganjil dalam laku ini. Dan jangan singgung hal tersebut disini! Karna laku yang ganjil itu sesungguhnya tercipta karna dari laku dirinya sendiri! Bila kaki ini terlihat mundur selangkah darinya, sesungguhnya itu karna ia lah yang telah mundur dua langkah lebih awal dariku. Bila diri ini tampak atau setidaknya terasakan hati menjadi begitu tak perduli padanya, itu karna bahwasannya ia sendirilah yang telah lebih dulu menggabai-hilangkan arti hadirku dimatanya sendiri. Atau setidaknya karna dirinya sendirinya lah yang telah memintaku berlaku seperti itu.

Dan telah datang masanya kini. Pikirku tiba saatnya tanamkan kata “amat merugi” dalam kepala ini bila sampai harus kembali menjadi seperti apa yang telah mereka kenal tentangku diawal kami kenal. Dan kata “amat lelah” bila sampai harus ikuti apa inginnya.

Dan teruntukmu periku, kumohonkan padamu jangan rapatkan maknamu dimakna sepertinya. Kusesalkan bila itu sampai terjadi padamu yang indah. Kecewaku tukmu bila kini dalam dunia penghuni dalam parasmu yang cantik itu sampai terlintas berpikir tuk menjadi sepertinya. Tangisku tuk jalanku kembali ke mati suriku bila kini hatimu sampai meniru lakunya selama ini pada segenap jiwaku ini.

Peri utaraku, jadilah engkau pilar bagi hidupku. Jadi pemandangan bagi kesenanganku. Jadi hujan bagi sedihku. Jadi bintang bagi malamku. Jadi....dan demi bahagiaku kini, jadikanlah dirimu sendiri yang indah serta cantik dengan seutuhnya tuk jadi seperti apa baiknya bagi dirimu dan para mereka orang-orang terkasih.

23 Nopember 2009

Ditengah gulita hari pagi terang,

Katakan padaku...sebenarnya apa yang tengah tersimpan dalam keindahan wajahmu itu? Apa yang telah menjadi pemoles manis senyumanmu itu? Warna apa yang telah kau simpan dalam sepasang penglihatanmu yang cemerlang itu? Dan rona apakah yang telah kau letakan di kedua pipimu yang cantik itu? Sungguh kuteramat bodoh bila kini kubiar sang terka yang menjawabnya!

Katakan padaku...sebenarnya kini kuberada berdiri dimana? Diatas taman suka, senang, kagum, ataukah lebih parah lagi sebagaimana prasa hati ini merasa bahwasanya taman itu adalah taman cinta?

Gulita kini kumemandang hari pagi yang terang ini. Butalah aku kini terhadap apa yang ada pada sekitarku.

Kini katakan padaku, periku...kau diam seolah-olah abaikanku itu semata-mata karna kau tahu rasa manis ini hanya menjulur sepihak dalam pinta tersambutnya. Kau manis berlaku seolah-olah seperti tengah berharap ingin aku ada disisimu itu semata-mata karna kau inginkan segenap kesenangan dunia maya itu dengan sepenuhnya. Kau terima kehadiranku kemarin ini semata-mata karna dipaksa sang keadaan. Kau lakukan semua itu semata-mata karna kau memang merasa engkau bukanlah sesosok peri abadi yang selama ini tengah kucari.

Tak usah engkau hiraukan prasa hatiku ini bila kebenaran jawabmu itu akan ada laksana empedu ataupun sembilu sekalipun. Aku akan tetap baik berdiri disini meskipun akan sempat tuk sesaat terlihat laksana sepohon cemara pasca badai menghampirinya. Dan ia pun akan kembali bugar ketika tanda sinaran sang mentarinya kembali hadir. Dan bagiku mentari itu ialah sang peri abadi yang tengah kucari dan selalu kunanti selama ini.

Takkan kuheran dengan semua cerita ini. Karna seperti inilah yang selalu kudapati di masa-masa kemarin ini. Jauh sebelum kau hadir dihidupku. Dimana hadirku hanya ada tuk pelengkap hasrat masa indahnya. Makna cinta tulusku hanya terlahir tuk penghias masa lalunya. Dan karna itu semua lah kenapa aku sempat berkata aku mencintai masa laluku. Karna sesungguhnya bagi ia yang tengah benar mencinta, ia tak akan pernah mudah begitu lepas dari segenap hal tentang yang dicintainya tersebut. Namun kembali pada situasiku saat ini, hingga sampai saat ini, aku memang akan selalu mencintai masa laluku. Sampai kapan pun jua itu. Namun tidak berserta cinta pelakunya.

25 Nopember 2009

Dalam keteduhan hari pagi,

Hari pagi ini. Adakah satu orang dari para mereka yang tengah menanti hari bahagia satu kasih hatinya di hari esok akan tenang di hari kini tuk sementara waktu ini? Akankah ia itu dengan senangnya ikut berbahagia tuk menyambut satu hari bahagia kasih hatinya tersebut? Semua itu akan terjadi bila makna kehadirannya dihati kasih hatinya tersebut telah terlahir sempurna sebagai kekasih hatinya tersebut. Namun bagaimana dengan para mereka selayaknya kumbang cacat ini yang tak punyai sedikit pun makna dihadapan ia kasih hatinya itu selain makna sebuah kata orang asing? Mungkin mereka tersebut akan tampak terlihat gusar, resah, cemas...ataukah ada rasa-rasa lain yang kan menghinggapi hatinya tersebut? Kuangkat kedua bahu ini tuk menjawabnya.

Di pagi ini. Nuansa teduhnya menemani pikirku tentang hari esok itu. Pasca hujannya melebur menjadi sebuah dasar pijakan tuk hati semakin larut dalam cumbuan sang ketidak-tentuan rasa. Dinginnya mampu membuat tangan ini terasa kelu tuk lantang berbicara. Dan cekaman seluruh situasi tersebut semakin menjadi-jadi tabiatnya ketika alunan halusnya nada-nada para penyenandung lirik-lirik rasa manis melintasi semestanya alam pendengaran ini.

Entah kemana harus kubawa segenap perasaan hati yang tak pasti ini. Tak ingin kubawa ia ke bantaran samudera itu. Karna kutahu sang ombak serta karang kan tiba saatnya menertawakan apa yang tengah kurasai kini. Tak ingin kubawa ia ke badan pilar penopang langit itu. Karna kutahu dengan sepi serta asri yang selalu dimilikinya itu, ia akan semakin membuat rasa hati ini lebih tak pasti lagi. Dan tak jua akan kubawa ia ke dalam dunia itu. Karna kutahu dengan ramai serta kesenangan yang dimilikinya tersebut, rasa hati ini yang tengah rasai rasa yang tak pasti ini akan tetap dalam keadaan seperti itu.

Haruskah segenap perasaan hati ini kubawa kehadapamu? Sepertinya itupun tak mungkin bagiku. Karna kutahu selama ini dirimu sedikit pun tak menghiraukan aku ketika aku berdiri disana. Hanya mengabaikanku, itulah laku manismu yang selalu kau beri padaku. Dari satu hal itu, akankah rasa hati ini akan mengalami sebuah progres yang positif, bila seandainya langkah hati ini bersikeras pergi tujuimu di dunia itu? Mungkin satu hal itu tak mungkin. Karna yang selalu ku dapat selama ini darimu ketika kutemuimu di dunia itu; semakin dekat, semakin ketakutan...semakin jauh, semakin menyakitkan.

Semakin dekat hati ini dekatimu, semakin dekat pula ketakutan yang selama ini dimiliki hati menghampiriku. Satu ketakutan yang terlahir bersama kelahiran satu sisi jiwa teduhku. Takut dirimu kan bersikap sama seperti para mereka yang pernah benar kenaliku serta masuki hati dan hidupku ini. Dimana kinasih penuhnya berhenti ketika tiba saatnya mereka tahu satu sisi jiwa teduhku ini. Satu sisi jiwa teduhku ini adalah kelebihanku baginya. Namun bagiku adalah kekuranganku.

Semakin jauh diri ini tinggalkanmu di dunia itu, semakin menyakitkan pula rindu hati ini tuk rasai rasa yang ada.

Kini tahulah mengapa kusengaja menyelipkan satu sisi jiwa teduhku di dunia itu di halaman-halaman mukamu itu. Satu tujuku agar dirimu tak seperti mereka. Agar engkau peri utaraku dapat bermetamorfosis menjadi sesosok peri angan. Satu nama peri yang telah kutetapkan jauh hari yang kan menjadi peri pertama dan terakhir yang kan menetapi hatiku bersama cintanya dengan dan karna segenap kebenaran dari cinta itu sendiri.

26 Nopember 2009

Dicelah jingga bahagia,



N’H’G

261109



Andai hari ini sang pelangi tandang hadir

Mungkin lintasnya kan berdiri manis terbalik

Andai hari ini sang gumawan berpadu diatasmu

Mungkin tangannya kan beriak saling beradu

Andai hari ini sang api merapi turun dari tempatnya

Mungkin langkahnya akan bermuara diujung lilin angka

Andai hari ini jiwa malam boleh berkata

Tanpa mungkin jemari ajak pena berdansa

Mengukir satu salam bahagia bagi wanita bahagia

Sebuah lukisan kata berbingkai puisi berkanvas asa

Bersama tangan menengadah padaNya

Bersama itu khusyuk hati ucap asa doa

Bersama bahagia selimuti hari jadimu

Bersama itu smoga kebaikan setia padamu

Dan mohonku kini tukmu peri utara

Tutup mata tuluskan doaku padaNya

Smoga kinasihNya deras hujanimu

Smoga baik rencanaNya sejalan mimpimu

Smoga cerita harimu nanti indah slalu

Smoga satu hati terkasihmu kian cintaimu tulus

Dan smoga doa sederhanaku tukmu ini mudah nyata menitis

Amin....



Jm’sh

Belum ada Komentar untuk "PERI UTARA DIBADAN CERITA."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel